IUU Fishing dan Ancaman Kedepannya Bagi Indonesia
Jumat, 20 Juli 2018
Jakarta - Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelutan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja menghadiri diskusi terbuka “Merespon IUU Fishing: Jalan Kedepan untuk Indonesia” yang diakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Royal United Services Institute (RUSI) di Pakarti Centre Building. Diskusi ini dilakukan untuk mengumpulkan usulan-usulan praktis dan kebijakan yang mungkin dapat diadopsi oleh Indonesia untuk merespons ancaman yang datang dari praktik IUU Fishing. Beberapa kementerian yang hadir diantaranya Kementerian Koordinator Maritim, PPATK, Kementerian Luar Negeri, Badan Keamanan Laut, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM.
Pada tahun 2011, 20-30 persen ikan tuna, sekitar 3.889-6.500 ton diekspor ke Amerika Serikat secara illegal dan tidak dilaporkan. Menurut data FAO, sekitar 90% stok ikan dunia telah dieksploitasi secara besar-besaran dan menurut data WWF tahun 2015 mengancam lebih dari 85% stok ikan secara global dan mengancam 65% terumbu karang Indonesia.
Menurut Veerle, dari RUSI, Indonesia mengalami illegal fishing karena masih belum terpenuhinya isfrastruktur dan peraturan yang kurang keras dari pemerintah, juga belum adanya awareness di kalangan nelayan sendiri, serta masih belum memahami zona-zona penangkapan ikan yang boleh ataupun tidak boleh ditangkap, yang menyebabkan banyak nelayan Indonesia yang ditangkap oleh aparat keamanan laut negara tetangga.
“Bukan hanya mengancam stok ikan, namun juga berdampak negative pada kegiatan ekonomi nelayan berskala kecil,” papar Sjarief.
Maka dari itu, pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wakil Jusuf Kalla, juga Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menetapkan 3 pilar, diantaranya pilar kedaulatan, pilar keberlanjutan dan pilar kesejahteraan. Pemerintah juga melakukan moratorium kapal asing dan juga pelarangan transshipment pada tahun 2014, pembentukan Satuan Tugas Pemberantas Illegal Fishing 115, analisis evaluasi kapal ikan eks asing dan di tahun 2016 ditetapkan adanya pelarangan kapal eks asing dan modal asing dalam sector perikanan tangkap.
“Untuk mendukung pilar pertama yaitu pilar kedaulatan, Indonesia melakukan penenggelaman kapal yang melakukan kejahatan illegal fishing untuk memberikan deterrent effect. Sudah ada sekitar 300-an lebih kapal asing yang ditenggelamkan di laut Indonesia,” jelas Sjarief.
Melalui kegiatan analisis dan evaluasi, ditemukan bahwa seluruh kapal objek Anev melanggara peraturan undang-undang terkait perikanan. Ada 12 modus operasi IUU Fishing di Indonesia diantaranya 1. Pemalsuan Dokumen pendaftaran kapal; 2. Double flagging & double registered; 3. Menangkap ikan tanpa izin/dokumen pelayaran (SLO dan SPB); 4. Modifikasi kapal secara illegal (mark down, merubah call sign, mesin); 5. Menggunakan nakhodan dan ABK asing; 6. Tidak mengaktifkan transmitter pemantauan kapal (VMS dan AIS); 7. Transshipment Ilegal; 8. Pemalsuan data logbook; 9. Pelanggaran jalur penangkapan ikan; 10. Penggunaan alat tangkap yang dilarang; 11. Tidak memiliki/bermitra dengan Unit Pengolahan Ikan; 12. Tidak mendaratkan ikan di pelabuhan yang ditetapkan dalam izin.
Kegiatan anev juga mengungkap fakta bahwa kegiatan penangkapan ikan secara ilegal juga diikuti berbagai jenis tindak pidana lain seperti perdagangan orang, perbudakan, penghindaran pembayaran pajak, korupsi, pencucian uang, transaksi BBM secara ilegal, dan penyelundupan barang dan orang.(ALP)
KKP WEB Badan Penyuluhan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan Dan Perikanan
JL. Medan Merdeka Timur No.16 Jakarta Pusat
Telp. (021) 3519070 EXT. 7433 – Fax. (021) 3864293
Email: humas.kkp@kkp.go.id
Call Center KKP: 141