KKP Paparkan Strategi Pengembangan Akuakultur Melalui Webinar Curtin University Malaysia
Kamis, 1 Juli 2021
JAKARTA (1/7) - Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja, didapuk menjadi pembicara pada webinar bertajuk Challenges and Opportunities of Aquaculture in Malaysia and Indonesia’, yang diselenggarakan oleh Curtin University Malaysia, 29 Juni 2021.
Challenges and Opportunities of Aquaculture in Indonesia, menjadi topik yang dipaparkan Sjarief dalam kesempatan tersebut. Pihaknya menuturkan bahwa di tahu 2021-2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sesuai kebijakan yang diambil Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mendorong pelaksanaan tiga program prioritas, yakni Peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam perikanan tangkap dan peningkatan kesejahteraan nelayan; Pengembangan perikanan budidaya untuk peningkatan ekspor; dan Pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal.
"Saat ini, society kita mulai bergerak, bertransformasi dari industri four point zero menjadi five point zero. Karenanya kami mencoba integrasikan peran dari information and communications technology dalam usaha budidaya. Sebagaimana laporan Badan Pangan dan Pertanian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2021, bahwa konsumsi ikan perkapita penduduk dunia akan mencapai 19,6 kg per tahun dan diprediksi bahwa produksi perikanan budidaya akan menyalip produksi perikanan tangkap. Hal ini didasari oleh penurunan produksi perikanan tangkap akibat overfishing, sementara demand konsumsi ikan terus meningkat," terang Sjarief.
Lebih lanjut disampaikan bahwa KKP memiliki tujuh strategi pengembangan akuakultur: Pertama, Pemetaan pada pusat produksi, meliputi penetapan alokasi wilayah menurut RZWP3K, pengembangan klaster kawasan industri perikanan budidaya terpadu hulu-hilir, serta penyusunan Master Plan Kawasan Budidaya berdasarkan daya dukung dan komoditas unggulan superior; Kedua, Peningkatan produksi, meliputi penyediaan sarana input produksi yang unggul dan berkualitas, pengembangan komoditas unggulan yang bernilai ekonomi tinggi, peningkatan rantai pasokan dari hulu ke hilir dan inovasi dan modernisasi teknologi.
Strategi ketiga yakni pengembangan usaha, investasi, dan akses pasar, yang meliputi fasilitasi akses permodalan dan pengembangan kelembagaan, perlindungan usaha perikanan budidaya, pengembangan pola kemitraan yang menguntungkan, dan diversifikasi, promosi dan branding produk akuakultur. Keempat, pembangunan infrastruktur dan konektivitas, yang meliputi revitalisasi unit penetasan, pembangunan pabrik pakan, listrik, air bersih, UPI, IFM, pabrik pengolahan RL, gudang RL, serta jalur produksi, dermaga, bandara perintis,dan kapal angkut. Strategi selanjutnya yakni pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan yang meliputi penataan pola penebaran benih, pemantauan penyakit, vaksinasi; penyediaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL); adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; dan pembangunan laboratorium pengendalian dan pengelolaan penyakit ikan.
Strategi keenam adalah peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang meliputi pelatihan dan penyuluhan bagi pembudidaya ikan skala kecil, pengembangan bioteknologi dan rekayasa akuakultur, serta sertifikasi SDM. Strategi terakhir adalah penguatan kelembagaan dan komitmen pemangku kepentingan, yang meliputi dukungan regulasi dan anggaran dari pusat/pemerintah daerah/swasta, penyederhanaan perizinan dan insentif bagi usaha perikanan budidaya, integrasi program lintas Kementerian, BUMN, Swasta, dan penguatan kelembagaan UPT DJPB di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Strategi tersebut juga didukung potensi produksi perikanan budi daya di Indonesia, di mana dari potensi sekitar 100 juta ton per tahun, yang sudah dimanfaatkan baru mencapai 16 persen atau sekitar 16-17 juta ton per tahun. Potensi tersebut begitu besar, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang 75 persen total wilayahnya adalah lautan. Selain itu, sekitar 28 persen wilayah darat Indonesia memiliki ekosistem perairan air tawar seperti danau, bendungan, sungai, dan rawa.
Dalam penerapannya, budidaya perikanan di Indonesia juga memiliki berbagai tantangan. Tantangan pertama, dijelaskan Sjarief, yakni manajemen benih, berupa sistem logistik benih belum dikembangkan, teknologi pembenihan belum optimal dalam penerapannya, serta tidak banyak benih bernilai ekonomi tinggi yang dihasilkan dari unit pembenihan. Tantangan lainnya yakni pengelolaan zona dan kesehatan ikan, meliputi benturan kepentingan pemanfaatan ruang tanah dan air, terintegrasinya pusat hulu-hilir kawasan perikanan budidaya belum optimal, infrastruktur yang tidak memadai, seperti saluran irigasi, jalan produksi, wadah budidaya, pengelolaan kesehatan ikan belum optimal, serta penurunan daya dukung lingkungan.
"Pengelolaan pakan dan obat ikan juga menjadi tantangan tersendiri, yakni bagaimana meminimalisir ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku pakan impor yang menyebabkan harga pakan menjadi mahal, petani ikan masih bergantung pada pakan buatan, kurangnya pemanfaatan dan penyediaan pakan alternatif, serta masih banyak beredar obat ikan tanpa izin di pasaran. Selain itu juga terdapat tantangan dalam hal manajemen produksi dan bisnis, berupa akses permodalan dan perlindungan usaha perikanan budidaya skala kecil terbatas, kompetensi SDM budidaya perikanan skala kecil relatif rendah, lembaga budidaya ikan tidak dikelola dengan baik, dan persyaratan sertifikasi yang semakin ketat oleh negara pengimpor. Tantangan lainnya yakni aspek lintas sektoral, berupa regulasi lintas sektor masih lemah dan asimetris, baik antar/intra sektoral, perizinan usaha cenderung menghambat budidaya, Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) dalam pengelolaan perikanan budidaya belum optimal, serta sistem pendataan belum terintegrasi dan holistik,” paparnya.
“Jadi ini adalah challenge di bidang aquaculture. Semua aspek tentu harus menjadi perhatian bersama untuk terciptanya masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera dan mendukung ketahanan pangan guna meningkatkan perekonomian nasional,” tegas Sjarief.
Di tahun 2021-2024, KKP tengah menggenjot nilai ekspor dan produksi berbagai produk mariculture, salah satnya adalah udang. Udang merupakan komoditas perikanan yang paling banyak diminati pasar global. Dalam kurun waktu 2015 – 2019, udang merupakan permintaan pasar nomor dua setelah salmon. Indonesia sendiri selama kurun waktu tahun 2015-2020 berkontribusi terhadap pemenuhan pasar udang dunia rata-rata sebesar 6,9 persen.
“Potensi pasar ini harus kita garap, khususnya pasar yang memberikan nilai tinggi terhadap udang produksi Indonesia. KKP menargetkan volume produksi udang dari 1 juta ton menjadi 2 juta ton di tahun 2024, dengan target nilai produksi dari Rp72 triliun menjadi Rp140 triliun di tahun 2024 dan dengan nilai ekspor mencapai USD8 miliar. Selain itu terdapat lobster dengan target produksi 22 ribu ton sampai tahun 2024 dan juga rumput laut,” tutur Sjarief.
“Untuk itu, kita membuat suatu model, how to attract people and investor untuk bersama membangun akuakultur. Pemerintah, dalam hal ini KKP, telah membuat prototipe atau modeling budidaya udang atau shrimp estate, yang telah dikemabangkan di Lampung, Kebumen, Sumbawa, dan Pinrang. Kita juga kembangkan kluster dan merevitalisasi tambak yang sudah ada untuk kemudian diberikan sentuhan teknoologi, pakan, benih unggul dan memastikan pemasarannya berjalan dengan baik. KKP juga memiliki program Tambak Udang Milenial dengan sistem bioflok, yang ditujukan kepada generasi muda yang baru akan memulai usahanya,” lanjutnya.
Di akhir sesinya, Sjarief mengatakan bahwa mariculture adalah jawaban untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, dengan tetap menjaga sustainability of our resources. “Kalau kita bisa kembangkan mariculture, kita bisa mengurangi tekanan pada laut, mengurangi jumlah penangkapan ikan di laut, memenuhi kebutuhan stok ikan serta kebutuhan pangan.
Selain Sjarief, Curtin University Malaysia juga menghadirkan pembicara lainnya, seperti Mohd. Azrul bin Mahmod (Senior Fisheries Officer at Department of Fisheries headquarter, Malaysia), yang berbicara tentang status dan perkembangan industri akuakultur di Malaysia saat ini, serta Desrina (Department of Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Universitas Diponegoro), yang berbicara tentang tantangan dan peluang budidaya kerang darah di Indonesia. Webinar dimoderatori oleh Tony Hadibarata (Programme Director for the Master of Science in Sustainable Aquaculture) dan Lee Lih Yin (Aquaculture Lecturer from Curtin Malaysia’s Faculty of Engineering and Science).
HUMAS BRSDM
KKP WEB BPPSDMKP
JL. Medan Merdeka Timur No.16 Jakarta Pusat
Telp. (021) 3519070 EXT. 7433 – Fax. (021) 3864293
Email: humas.kkp@kkp.go.id
Call Center KKP: 141