Peran Riset Bioteknologi Kelautan dalam Pembangunan Berbasis Ekonomi Biru

Rabu, 30 Juni 2021


JAKARTA (30/6) - Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menegaskan bahwa penguatan riset merupakan salah satu modal penting dalam memajukan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Saat ini, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk membangun ekonomi laut yang berkelanjutan atau 'Ekonomi Biru' (Blue Economy).

 

Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) sebagai Eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang memiliki fokus pada riset kelautan, riset perikanan, sosial ekonomi, dan bioteknologi, mengejawantahkan penerapan konsep Blue Economy dalam pembangunan dengan tiga pilar utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Ekonomi biru diterjemahkan sebagai konsep pembangunan yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam (pilar ekologi) untuk menghasilkan multiple cash-flow (pilar ekonomi) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pilar sosial).

 

Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja, dalam sambutannya pada Webinar 'Blue Biotechnology dalam Pengembangan Teknologi Biru Indonesia' yang diselenggarakan oleh Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP), pada Senin, 28 Juni 2021, kembali menegaskan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan telah menggagas pola ekonomi biru dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Pihaknya pun mengimbau para pelaku dan pemangku kepentingan untuk menyusun langkah strategis dan antisipatif dalam pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan.

 

Marine Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2015 - 2020 yang diterbitkan Bappenas menyebutkan bahwa biodiversitas laut Indonesia sangat kaya dan beragam. Terdapat sekitar 6.396 jenis biota laut, 5.315 jenis fauna laut, 3.476 jenis ikan, 371 jenis alga, 406 jenis mikroba, dan 143 jenis flora di laut Indonesia. “Sayangnya, biota laut ini kita kenal dalam berbagai produk farmakologi, kosmetik, dan pangan yang kita impor dari luar negeri. Padahal, bahan baku yang digunakan berasal dari laut Indonesia," terangnya.

 

Lebih lanjut Sjarief mencontohkan bahwa nilai ekspor bahan baku rumput laut Indonesia hanya berkisar USD1.168 per ton. Jika Indonesia mampu mengolah menjadi produk akhir, nilai tambah rumput laut meningkat secara signifikan menjadi USD13.372 per ton atau 13 kali lipat.

 

"Tentu saja, optimalisasi sumber daya kelautan dan perikanan untuk ekonomi biru dihadapkan pada banyak tantangan. Salah satunya adalah kualitas bahan baku. Untuk menghasilkan produk akhir yang berkualitas dibutuhkan bahan baku dengan mutu yang baik, seragam, dan didapatkan dengan metode yang menerapkan visi keberlanjutan, serta mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance) di setiap tahapan proses pengembangan produk dan memberikan pelayanan pelanggan yang memuaskan," tutur Sjarief.

 

Pihaknya pun menyambut baik kegiatan ini, sebagai langkah membangun persepsi bersama bagaimana memanfaatkan seluruh sumber daya kelautan dan perikanan khususnya pada produk turunan dalam bioteknologi, dengan meningkatkan nilai tambahnya untuk memberikan kemanfaatan semaksimal mungkin pada manusia. "Melalui webinar ini diharapkan dapat melahirkan sebuah kesimpulan berupa rumusan yang dapat dijadikan bahan dasar untuk menyusun rencana aksi nasional, bagaimana kita membuat bioteknologi ini menjadi model pengembangan pengolahan bahan baku yang berasal dari laut secara berkelanjutan," tegas Sjarief.

 

Prof. Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, dalam paparannya sebagai keynote speaker, menyampaikan beberapa mahzab blue economy yang pada dasarnya memiliki konsep dasar yang sama yaitu pembangunan berbasis zero waste concept (nirlimbah) dengan memanfaatkan sumber daya alam secara efisien.

 

Dia menegaskan peran penting bioteknologi kelautan untuk pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. “Bioteknologi kelautan melalui genetic engineering; DNA sequencing, DNA recombinant, gene editing, dan lainnya telah mampu melipatgandakan produktivitas sektor budidaya. Di samping itu, genetic engineering telah mampu membudidayakan organisme di suatu ekosistem yang secara alamiah sebenarnya tidak cocok, contohnya budidaya padi GMO (Genetically Modified Organism) di ekosistem perairan laut Qingdao, China,” ungkapnya.

 

Domain Bioteknologi Kelautan menurut Rokhmin, terdiri dari tiga unsur yakni; Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kedua, genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. Ketiga, Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar.

 

"Dengan Bioteknologi Kelautan, ikan dan biota laut lainnya tidak hanya bermanfaat sebagai bahan pangan (khususnya protein hewani), tetapi juga dapat diekstrak senyawa bioaktifnya sebagai bahan baku untuk industri farmasi, functional foods, kosmetik, cat, film, bioenergy, dan berbagai macam jenis industri lainnya," ucapnya.

 

Dewi Seswita Zilda, peneliti BBRP2BKP menuturkan bahwa posisi riset bioteknologi kelautan dalam pembangunan ekonomi biru yaitu pada harvesting and trade of marine living resources. Riset pemanfaatan mikroba laut sebagai penghasil enzim telah dilakukan di BBRP2BKP sejak tahun 2002. Salah satu yang telah dikembangkan adalah riset terkait bioprospeksi enzim dari bakteri laut. Rangkaian riset dimulai dari screening, karakterisasi, cloning, hingga aplikasi enzim. Tidak hanya untuk produk pangan, aplikasi enzim dari bakteri laut potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku produk kosmetika dan obat-obatan. Menurut peneliti dari BBRP2BKP, Gintung Patantis, M. Biotech.Si, pasar kosmetik Indonesia mencapai USD6,03 miliar di tahun 2019, dimana USD5,18 miliar merupakan produk kosmetik lokal, dan hanya USD0,85 miliar berasal dari produk impor. Hanya saja, menegaskan apa yang dikatakan Sjarief, 70% dari produksi kosmetik lokal ini masih menggunakan bahan baku yang diimpor dari luar negeri

 

Hingga saat ini, BBRP2BKP telah memiliki kurang lebih 1.000 koleksi isolat bakteri penghasil enzim potensial. Namun, pengembangan enzim hingga sampai ke hilir untuk kebutuhan komersial dan industri sangat membutuhkan campur tangan pemerintah untuk menjembatani peneliti dengan industri agar hasil riset tidak hanya tertuang dalam publikasi ilmiah namun juga dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dan memiliki dampak ekonomi yang besar bagi negara.

 

Visi keberlanjutan dalam blue biotechnology juga dapat diterapkan melalui bioremediasi. Hal ini disampaikan oleh Devi Ambarwaty Oktavia, MP, peneliti BBRP2BKP, dalam paparannya. Permasalahan limbah pengolahan produk perikanan yang belum tertangani dengan baik telah terbukti memberikan dampak buruk bagi lingkungan, seperti polusi udara dan air. Penanganan limbah yang tidak tepat, seperti penggunaan bahan kimia sebagai pelarut juga menghasilkan produk samping yang berdampak toksik pada lingkungan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan melakukan bioremediasi atau pengolahan limbah cair perikanan secara biologis.

 

 

HUMAS BRSDM

Sumber:

KKP WEB BPPSDMKP

Logo Logo
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

JL. Medan Merdeka Timur No.16 Jakarta Pusat

Telp. (021) 3519070 EXT. 7433 – Fax. (021) 3864293

Email: humas.kkp@kkp.go.id

Call Center KKP: 141

Media Sosial

Pengunjung

1 2
© Copyright 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia